Laman

Etika Profesi Akuntansi

Diposting oleh Dian Nisvi on 19.57

Kepercayaan Publik

Untuk meningkatkan kepercayaan publik auditor harus memiliki sikap profesionalisme dan independen. Independensi akuntan public/auditor Profesi akuntan public adalah profesi yang unik karena dalam menjalankan tugas profesinya seorang akuntan publik harus bisa menggunakan keahlian profesinya dengan tetap mempertahankan sikap independensi. Berbeda dengan profesi lainnya yang harus mentaati perintah atau keinginan pengguna jasa profesi karena fee yang diberikan, seorang akuntan public justru harus independen dalam melaksanakan audit dan saat memberikan hasil laporan audit kepada klien meskipun ia dibayar oleh klien karena hasil laporan audit ini tidak hanya digunakan oleh klien tetapi juga oleh pengguna laporan keuangan auditan.
Independensi adalah suatu sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain (mulyadi, 2002). Independensi juga berarti bahwa auditor harus jujur dalam mempertimbangkan fakta sesuai dengan kenyataannya. Artinya bahwa apabila auditor menemukan adanya kecurangan dalam laporan keuangan klien maka auditor harus berani mengungkapkannya bebas dari tekanan klien atau pihak lain yang berkepentingan terhadap laporan keuangan.

Ada dua sikap independensi yang harus dimiliki oleh akuntan public/ yaitu :
1. Independensi in fact : yaitu akuntan public/auditor harus jujur dalam mempertimbangkan fakta yang ada dan dapat bersikap tidak memihak dalam memberikan pendapat. Sikap independen ini adalah sikap mental yang ada dalam diri pribadi akuntan public sehingga masyarakat pengguna sulit mengukur apakah akuntan tersebut jujur atau tidak.

2. Independensi in appearance/penampilan yaitu masyarakat mendapatkan kesan bahwa akuntan public bisa memperlihatkan tindakan-tindakan yang independen. Oleh karena itu akuntan public harus selalu menjaga tindakan dan perbuatannya agar tidak mempengaruhi kepercayaan masyarakat.


Selain itu ada dua konsep independensi (Abdul Halim, 2003) yaitu berkaitan dengan independensi dalam diri pribadi auditor secara individual (practitioner-independence) dan independensi auditor secara bersama-sama dalam profesi (profession-independence).

Pada independensi individual auditor dituntut untuk bersikap tidak memihak dan percaya diri dalam melaksanakan pemeriksaan. Hal ini berarti bahwa selain harus jujur dan independen, auditor juga bebas/independen dalam memilih teknik dan prosedur audit, mengemukakan fakta hasil pemeriksaan dan pemberian pendapat dan rekomendasi yang diberikan. Sedangkan independensi secara profesi lebih menekankan pada pandangan masyarakat baik masyarakat bisnis atau organisasi profesi lain terhadap profesi akuntan public.

Faktor-faktor yang mempengaruhi independensi auditor tidak dapat dipungkiri bahwa bahwa klien berusaha agar laporan keuangan yang dibuat oleh klien mendapatkan opini yang baik oleh auditor. Banyak cara dilakukan agar auditor tidak menemukan kesalahan dalam penyusunan laporan keuangan bahkan yang lebih parah lagi adalah kecurangan-kecurangan yang dilakukan tidak dapat dideteksi oleh auditor. Independensi akuntan public dapat terpengaruh jika akuntan public mempunyai kepentingan keuangan atau mempunyai hubungan usaha dengan klien yang diaudit. Menurut Lanvin (1976) dalam Supriyono (1988) independensi auditor dipengaruhi oleh factor-faktor sebagai berikut :

1. Ikatan keuangan dan usaha dengan klien

2. Jasa-jasa lain selain jasa audit yang diberikan klien

3. Lamanya hubungan kantor akuntan public dengan klien

Sedangkan menurut Shockley (1981) dalam Supriyono (1988) independensi akuntan public dipengaruhi oleh factor :

1. Persaingan antar akuntan public

2. Pemberian jasa konsultasi manajemen kepada klien

3. Ukuran KAP

4. Lamanya hubungan antara KAP dengan klien

Dari factor–faktor yang mempengaruhi independensi tersebut di atas bahwa independensi dapat dipengaruhi oleh ikatan keuangan dan usaha dengan klien, jasa-jasa lain yang diberikan auditor selain audit, persaingan antar KAP dan ukuran KAP. Seluruh factor yang mempengaruhi independensi akuntan public tersebut adalah ditinjau dari independensi dalam penampilan.

Profesionalisme

Dalam pengertian umum, seseorang dikatakan profesional jika memenuhi tiga kriteria, yaitu mempunyai keahlian untuk melaksanakan tugas sesuai dengan melaksanakan suatu tugas atau profesi dengan menetapkan standar baku di bidang profesi yang bersangkutan dan menjalankan tugas profesinya dengan mematuhi etika profesi yang telah ditetapkan. Profesi dan profesionalisme dapat dibedakan secara konseptual seperti dikemukakan oleh Lekatompessy (2003). Profesi merupakan jenis pekerjaan yang memenuhi beberapa kriteria,

sedangkan profesionalisme merupakan suatu atribut individual yang penting tanpa melihat apakah suatu pekerjaan merupakan suatu profesi atau tidak. Seorang akuntan publik yang profesional harus memenuhi tanggung jawabnya terhadap masyarakat, klien termasuk rekan seprofesi untuk berperilaku semestinya.

Kepercayaan masyarakat terhadap kualitas jasa audit profesional meningkat jika profesi menetapkan standar kerja dan perilaku yang dapat mengimplementasikan praktik bisnis yang efektif dan tetap mengupayakan profesionalisme yang tinggi (Jusuf 1997:78–79). Konsep profesionalisme modern dalam melakukan suatu pekerjaan seperti dikemukakan oleh Lekatompessy (2003), berkaitan dengan dua aspek penting, yaitu aspek struktural dan aspek sikap. Aspek struktural karakteristiknya merupakan bagian dari pembentukan tempat pelatihan, pembentukan asosiasi profesional dan pembentukan kode etik. Sedangkan aspek sikap berkaitan dengan pembentukan jiwa profesionalisme.

Hastuti dkk. (2003) menyatakan bahwa profesionalisme menjadi syarat utama bagi orang yang bekerja sebagai akuntan publik. Gambaran seseorang yang profesional dalam profesi dicerminkan dalam lima dimensi profesionalisme, yaitu pertama, pengabdian pada profesi dicerminkan dari dedikasi dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki serta keteguhan untuk tetap melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik kurang. Sikap ini adalah ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan. Kedua, kewajiban sosial adalah suatu pandangan tentang pentingnya peranan profesi serta manfaat yang diperoleh baik masyarakat maupun kalangan profesional lainnya karena adanya pekerjaan tersebut. Ketiga, kemandirian dimaksudkan sebagai suatu pandangan bahwa seorang yang profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain (pemerintah, klien dan mereka yang bukan anggota profesi). Setiap ada campur tangan dari luar dianggap sebagai hambatan kemandirian secara profesional. Keempat, keyakinan terhadap profesi adalah suatu keyakinan bahwa yang paling berwenang menilai apakah suatu pekerjaan yang dilakukan profesional atau tidak adalah rekan sesama profesi, bukan pihak luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan tersebut. Kelima, hubungan dengan sesama profesi adalah dengan menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk di dalamnya organisasi formal dan kelompok kolega informal sebagai ide utama dalam melaksanakan pekerjaan.

Hastuti dkk. (2003) meneliti tentang hubungan profesionalisme dengan pertimbangan tingkat materialitas dalam proses pengauditan laporan keuangan dengan menggunakan lima dimensi mengenai profesionalisme yang sebelumnya telah dikembangkan oleh Hall (1968). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat profesionalisme mempunyai hubungan yang signifikan dengan tingkat pertimbangan materialitas. Semakin tinggi tingkat profesionalisme akuntan publik, semakin baik pula pertimbangan tingkat materialitasnya.

Upaya Multidimensi Dalam Membangun Kepercayaan Publik

Diskusi panjang mengenai makna dasar kepercayaan publik dalam suatu korporasi masih saja berkembang di bidang Manajemen. Debat yang terjadi kerapkali bermula karena adanya pihak yang menganut prinsip linearitas dan hanya menerapkan pendekatan tunggal dalam memandang fenomena kontekstual yang ada. Padahal, kepercayaan publik pada dasarnya lebih bersifat multidimensional yang membutuhkan integrasi pendekatan. Sebagai ilustrasi, pendekatan ekonomis yang selalu berupaya menempatkan risiko persepsian (perceived risk) sebagai konsekuensi atas keputusan seseorang dalam menaruh kepercayaan pada orang lain atau berharap memperoleh kemanfaatan dari interaksi yang dibangunnya. Kalkulasi terhadap besaran risiko itu lah yang kemudian dipergunakan sebagai basis untuk menentukan ekspektasi seseorang atas manfaat yang dapat diperoleh dari keputusan yang diambilnya. Pendekatan semacam ini tidak sepenuhnya bisa menjawab permasalahan tentang adanya fenomena ketidak-kepercayaan akibat pergeseran perilaku masyarakat itu sendiri yang terjadi pada skala yang besar. Sama halnya dengan hal pendekatan psikologi sosial yang menempatkan kepercayaan sebagai tendensi untuk melakukan pengalihan sesuatu pada pihak lain juga mengandung keterbatasan terutama dalam hal penilaian terhadap imbas kelembagaan yang mungkin muncul.

Polemik mengenai sudut pandang itu lah yang pada gilirannya memunculkan gagasan perlunya menempuh pendekatan yang terintegratif dan bersifat multidimensi untuk mengakomodasi keterbatasan pendekatan yang selama ini berkembang. Pendekatan yang berorientasi pada keluaran (output) sebagai ukuran capaian kinerja yang terukur dengan standar fisik jelas tidak bisa sepenuhnya mengadomodasi kepentingan masyarakat yang menempatkan kualitas proses sebagai penentu dalam membangun interaksi antar sub-sistem untuk mewujudkan kepercayaan publik. Padahal, kalau dicermati lebih jauh, pendekatan output dan proses itu pada dasarnya tidak saling meniadakan tetapi justru saling melengkapi. Argumen yang dikemukakan oleh Mesquita (2007) yang dipublikasikan dalam Academy of Management Review, Vol. 32., No.1 memperkuat proposisi bahwa pendekatan terintegratif kini dibutuhkan untuk dapat memahami kompleksitas dan dinamika membangun kepercayaan publik.

Pada tingkatan individual, kepercayaan sangat ditentukan pada kecocokan komposisi dari elemen-elemen dasar pembentuknya yaitu: adanya kemampuan (ability) dan kompetensi seseorang untuk melakukan tugas-pekerjaan yang diembannya; kepedulian dan perhatian untuk melakukan sesuatu; dan integritas sesorang terhadap suatu keputusan yang diambil merupakan hal yang mendasar bagi pembentukan faktor kepercayaan publik terhadap figur tertentu.Itu pula yang mendasari mengapa pendekatan multidimesi dirasa menjadi penting maknanya untuk dapat memahami kompleksitas isu yang berkembang dan mencari alternatif penyelesaian yang dapat mengakomodasi ragam kepentingan dan mengurangi unsure subyektifitas dalam memberikan suatu penilaian. Membangun kepercayaan publik memang agak sulit untuk bisa dipaksakan, tetapi bukan mustahil akan terbentuk secara natural seperti halnya sebuah tanaman yang difasilitasi untuk tumbuh dan pada akhirnya berbunga atau berbuah dengan berjalannya waktu. Ketetapan untuk menerapkan prinsip transparansi mungkin menjadi awal dari proses panjang untuk mendapatkan kepercayaan publik.

0 komentar:

Posting Komentar